Sorotan utama tertuju pada Pasal 3, yang mengatur tahapan pemilihan Ketua RT dan RW secara berlapis, mulai dari pra-pemilihan, uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), pemilihan, pengesahan, hingga pengukuhan. Skema ini dinilai terlalu birokratis untuk jabatan sosial kemasyarakatan di tingkat paling bawah.
Selain itu, Pasal 4 dan Pasal 5 juga mendapat perhatian serius karena memberikan kewenangan besar kepada lurah dan camat dalam proses pengesahan serta pengukuhan Ketua dan Pengurus RT/RW. Ketentuan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan multitafsir serta membuka ruang intervensi administratif yang berlebihan dalam proses yang seharusnya bersifat partisipatif dan berbasis musyawarah warga.
Kritik paling tajam diarahkan pada Pasal 6, yang mengatur mekanisme uji kelayakan dan kepatutan bagi bakal calon Ketua RT dan RW. Dalam aturan tersebut, lurah ditetapkan sebagai pihak penyelenggara uji kelayakan dengan sejumlah indikator penilaian, seperti komitmen pelayanan masyarakat, kepemimpinan, keamanan lingkungan, integritas, serta rekam jejak sosial.
“Ini berpotensi menimbulkan persoalan serius. Siapa yang menilai, apa indikator objektifnya, dan bagaimana kompetensi penilainya? Jika tidak diatur secara jelas, mekanisme ini bisa menjadi celah persoalan baru di kemudian hari,” tegas Masril, Jumat (19/12/2025).
Masril menilai, kebijakan tersebut mencerminkan pola kepemimpinan Wali Kota Pekanbaru saat ini yang lebih banyak menimbulkan sensasi ketimbang memberikan dampak langsung bagi masyarakat.
Menurutnya, regulasi mengenai RT dan RW sebelumnya sudah berjalan baik secara birokrasi dan sosial. Perubahan yang dilakukan justru dinilai tidak membawa perbaikan, bahkan berpotensi memicu konflik di tingkat akar rumput.
“Perda RT/RW yang sudah ada itu sebenarnya sudah bagus dan berjalan. Kenapa harus diubah lagi? Apalagi perubahan ini bukan semakin baik, karena pemilihan melalui musyawarah justru bisa memicu polemik dan konflik kelompok di masyarakat,” ungkap Masril.
Ia pun meminta Pemerintah Kota Pekanbaru untuk lebih fokus pada pemenuhan janji-janji politik yang disampaikan saat Pilkada lalu, dibandingkan membuat kebijakan baru yang berpotensi menimbulkan kegaduhan.
“Pemko seharusnya bekerja pada hal-hal yang nyata dan dibutuhkan masyarakat, seperti penanganan banjir melalui perbaikan drainase, pembangunan dan perbaikan jalan, penguatan UMKM, dan program-program prioritas lainnya,” pungkasnya.**

Komentar
Posting Komentar