PADAG, SABTAEWS.COM -- Suasana musyawarah kelurahan dalam rangka pembentukan Koperasi Merah Putih di Kelurahan Sawahan, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang, yang digelar pada Kamis (05/06/2025) di Aula Kantor Camat Padang Timur, mendadak memanas dan diwarnai kericuhan.
Insiden terjadi saat seorang pria yang mengaku sebagai Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Sawahan, tiba-tiba melontarkan ucapan keras kepada awak media yang tengah meliput jalannya musyawarah. Ia mempertanyakan kehadiran wartawan dan bahkan sempat melontarkan kalimat bernada ancaman, “Saya juga mantan wartawan dan siap berhadapan dengan siapa pun,” ujarnya lantang. Ia juga mempertanyakan identitas dan undangan wartawan dengan nada tinggi.
Lebih mencengangkan lagi, aksi ini mendapat dukungan dari Camat Padang Timur, Diko Eka Putra, S.STP, M.Si, yang turut meminta wartawan untuk meninggalkan ruang rapat. Dengan alasan waktu yang terbatas dan acara yang diperuntukkan hanya bagi RT/RW, lurah, serta sejumlah warga tertentu, camat bahkan menunjuk jam tangannya sebagai isyarat untuk segera keluar. Tak lama berselang, petugas Satpol PP turut diminta untuk mengawal dan mengeluarkan wartawan dari ruangan tersebut.
Padahal, menurut awak media yang hadir, mereka menjalankan tugas peliputan sesuai dengan hak yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya pada Pasal 18 ayat (1) yang menyatakan bahwa siapapun yang dengan sengaja menghalangi atau menghambat kerja jurnalistik dapat dikenakan sanksi pidana penjara hingga dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Dugaan Kejanggalan dalam Pembentukan Koperasi
Selain insiden pengusiran wartawan, muncul pula dugaan kuat adanya penyimpangan dalam proses pembentukan Koperasi Merah Putih itu sendiri. Sejumlah warga menilai proses musyawarah yang digelar terkesan tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik secara luas. Bahkan, beberapa warga mengaku sudah pernah membentuk koperasi serupa dan telah membayar biaya administrasi sebesar Rp1 juta kepada notaris.
“Kami sudah bentuk koperasi sebelumnya dan sudah daftar ke notaris. Kenapa sekarang dibentuk lagi dengan pengurus baru tanpa musyawarah terbuka? Ada apa ini?” ujar salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Kondisi ini menimbulkan kecurigaan adanya upaya manipulasi atau “settingan” dalam proses penunjukan pengurus dan anggota koperasi. Sejumlah warga dan jurnalis menduga bahwa pengurus baru yang akan dibentuk merupakan hasil penunjukan langsung oleh oknum camat dan ketua LPM tanpa melalui mekanisme demokratis dan partisipatif yang seharusnya menjadi prinsip dasar pembentukan koperasi.
Sorotan terhadap Transparansi Pemerintah Kecamatan
Kasus ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai komitmen pemerintah kecamatan dalam menjunjung nilai-nilai transparansi dan keterbukaan publik. Musyawarah yang semestinya menjadi ruang demokratis dan terbuka untuk warga justru diwarnai intimidasi terhadap media dan penyempitan akses informasi.
“Apakah ini bentuk kolusi antara oknum camat, ketua LPM, dan beberapa pihak lain untuk mengatur kepengurusan koperasi demi kepentingan kelompok tertentu?” tanya seorang wartawan yang turut diusir dari ruangan.
Kejadian ini seolah memperlihatkan lemahnya pengawasan dan semangat reformasi birokrasi yang selama ini digaungkan. Warga berharap agar pihak-pihak berwenang, baik dari Dinas Koperasi, Inspektorat Kota, hingga Ombudsman, turun tangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran ini.
Jika dibiarkan, ketertutupan seperti ini bisa menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan di tingkat kecamatan, dan merusak kepercayaan publik terhadap proses-proses pemberdayaan masyarakat.
Saat media ini melakukan konfirmasi melalui telepon selularnya, pak Camat lebih memilih bungkam.
Tim
