SABTANEWS COM - PEKANBARU - Aliansi yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa dan Masyarakat Pemantau Riau (GEMMPAR Riau) bersama Relawan Muda Peduli Riau, Masyarakat Supremasi Riau, dan Barisan Melayu Riau, menyatakan sikap tegas menolak keberlanjutan pembangunan Kampus Universitas Prima Indonesia (UNPRI) yang berlokasi di Jalan Harapan Raya No. 1, Kelurahan Tangkerang Timur, Kota Pekanbaru, tepat di seberang Taman Rekreasi Alamayang. Mereka menilai, pembangunan gedung kampus enam lantai tersebut tidak memiliki izin resmi seperti IMB atau PBG, serta dokumen AMDAL dan AMDALALIN, yang merupakan syarat mutlak bagi setiap kegiatan pembangunan berskala besar di wilayah perkotaan. Ketua GEMMPAR Riau, Erlangga, menyebut bahwa aktivitas pembangunan ini bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (UU Cipta Kerja), serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkun...
LUWU, SABTANEWS.COM -+ Aroma kejanggalan menyelimuti proses hukum di Polres Luwu. Seorang pria bernama Ismail, warga Kampung Baru, Senga Selatan yang di tangkap minggu lalu diduga bebas lebih cepat dari tahanan Satresnarkoba Polres Luwu Sulawesi Selatan setelah adanya dugaan transaksi atau 86 sebesar Rp50 juta.Jumat (28/3/2025)
Kabar ini berembus kencang dari laporan masyarakat yang enggan disebut namanya. Meski belum jelas berapa lama Ismail ditahan, kini ia telah menghirup udara bebas, memicu tanda tanya besar: apakah uang bisa mempercepat kebebasan seseorang dari jerat hukum?
"Kami dengar dia sudah bebas. Katanya ada pembayaran Rp50 juta. Tapi mengenai kebenarannya, hanya pihak terkait yang bisa menjelaskan," ujar sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Dugaan ini memantik keresahan di masyarakat. Apakah hukum masih berlaku sama bagi semua orang, atau hanya mereka yang punya uang yang bisa mendapatkan keadilan versi mereka sendiri?
Upaya konfirmasi kepada pihak kepolisian pun tak membuahkan jawaban memuaskan. Kasat Narkoba Polres Luwu, Abdianto, saat dihubungi wartawan, memberikan jawaban yang justru semakin mempertebal misteri.
"Saya tidak ada, Pak. Tetapi nanti saya sampaikan ke kaur saya dulu, baru saya telepon kembali," katanya singkat.
Namun, alih-alih memberikan klarifikasi lebih lanjut, nomor wartawan yang mencoba menggali kebenaran justru diblokir.
Blokir ini tentu menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Jika memang tidak ada yang salah, mengapa harus menghindar? Mengapa seorang pejabat yang seharusnya menjamin transparansi justru memilih bungkam?
Kasus ini diduga mencoreng wajah penegakan hukum di Luwu. Dugaan kebebasan instan karena uang bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi mengenai status hukum Ismail dan dua rekannya yang sebelumnya diamankan. Publik menunggu bukan hanya klarifikasi, tetapi juga kebenaran. Jika dugaan ini benar, siapa yang bertanggung jawab? Jika salah, mengapa respons yang diberikan justru mengarah pada semakin tebalnya kecurigaan?
(Tim)

Komentar
Posting Komentar